Ibu-ibu yang Mengambil Alih Bench

*buat para ibu dan yang bersiap-siap menjadi ibu

Yang tampak di pelupuk mata saya adalah bench yang reyot, yang bergaung di telinga saya adalah sorak-sorai para ibu yang heboh sekaligus riang.

Di banyak pertandingan yang pernah saya lihat, bench selalu dilengkapi kursi-kursi empuk yang disediakan buat staf dan pemain. Namun, bench di depan saya saat ini hanya memiliki satu bangku. 

Jangan bayangkan bangku yang terbuat dari semen sehingga kokoh. Bangkunya serupa bangku di warung-warung makan pinggir jalan yang kalau diduduki beramai-ramai bisa langsung ber-keriyut-keriyut menandakan kerapuhan dan keringkihannya. 

Pun dengan atapnya. Alih-alih dipenuhi logo sponsor, ia malah dipenuhi karat. Tiangnya juga menyedihkan, hanya terbuat dari kayu seadanya. Yang penting tegak, yang penting bisa menopang.

Di dekat pintu masuk lapangan yang digunakan sebagai tempat latihan SSB ini, ada pohon yang sebenarnya tak rindang-rindang amat. Di bawahnya ada potongan-potongan kayu yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Agaknya tempat ini juga menjadi salah satu sudut favorit ibu-ibu yang menunggu anak mereka latihan.

Biasanya setelah bercengkerama dan bergurau beberapa meter dari pintu masuk lapangan, ibu-ibu ini memilih duduk di kumpulan potongan kayu tadi. Selain cukup teduh dan menghadap tepat ke arah lapangan, di sebelah kanannya terdapat lapangan kecil berpasir. 

Anak-anak yang lebih kecil yang diajak sang ibu menunggu abang-abangnya berlatih sepak bola sangat sering bermain di lapangan berpasir itu. Barangkali di mata mereka, lapangan itu serupa bak pasir di taman bermain.

Saat itu sekitar pukul 09.00. Lapangan belum terlalu ramai. Seorang ibu yang menunggui anaknya latihan bercerita bahwa hari ini mereka akan bertanding melawan SSB dari Bogor. Kata si ibu, mereka sudah berkumpul sejak pukul 08.00 sesuai anjuran si kepala instruktur. Namun, lawan mereka datang terlambat, sudah satu jam menunggu tak juga datang.

Saya melihat lagi ke arah bench. Wah, bench sudah penuh! 

Lucunya, pelatih dan dua orang staf tidak duduk di bench. Mereka berdiri tegak di luar bench sambil sesekali memanggil anak-anak didiknya yang sedang bertugas mempersiapkan lapangan. 

Di antara mereka ada yang memasang gawang. Gawang itu dijungkirbalikkan, anak-anak di kelas senior yang mengerjakan hal ini karena bobotnya yang memang tak ringan. Sementara yang berada di kelas junior sibuk mengangkat kardus-kardus air mineral dan membagi-bagikan pisang buat teman-temannya.

Seorang ibu meminta anaknya untuk membeli tambahan pisang, dia pikir jumlah pisang yang tersedia masih terlalu sedikit. Begitu si anak kembali dengan tambahan pisang buat teman-temannya, si ibu ikut mencomot. Barangkali sebagai ibu yang akan segera bertugas sebagai suporter garis keras buat anaknya, ia sadar bahwa ia butuh tambahan energi untuk berteriak-teriak dan mengome sembari melompat-lompat.

Pemandangan lucu dan nyeleneh itu meyakinkan saya bahwa sebenarnya seorang ibu tidak pernah berjauh-jauhan dengan sepak bola. Ia begitu dekat, lebih dekat, sangat dekat, dan mungkin bisa dibandingkan dengan laki-laki manapun yang merasa sebagai suporter sejati.

Saya teringat pembicaraan bersama beberapa teman kantor. Waktu itu kami sedang mengenang sepak bola ala bocah kami masing-masing. Selain menggunakan gawang yang sama tentu saja sandal jepit dan memiliki dua peluit panjang yang sama–azan maghrib dan pemilik bola yang pulang–kami punya rasa penasaran yang sama.

Saya tidak tahu dengan kalian, tetapi yang membikin kami penasaran adalah bagaimana caranya ibu-ibu kami dulu selalu bisa menemukan kami bermain sepak bola. Saya dan teman-teman punya trik yang sama. Ibu-ibu kami sudah hafal bahwa sepak bola membikin anak-anaknya malas mengerjakan PR, lupa mandi, dan tentu saja menambah tumpukan cucian. Makanya, mereka sering menyusul ke lapangan tempat kami bermain.

Risih akibat ibu yang menurut kami terlalu cepat datang dan menghentikan permainan, kami pergi ke lapangan lain yang lebih jauh. Usia yang tak muda-muda amat itu memang berkah tersendiri karena setidaknya kami pernah hidup di zaman yang tidak terlalu sulit menemukan tanah kosong buat bermain sepak bola seadanya.

Tidak peduli sejauh apa pun kami bermain, teriakan “PULAAANG!” dari mulut ibu-ibu kami, yang rasanya selalu lebih berkuasa daripada keputusan wasit manapun, selalu terdengar dari pinggir lapangan. Kejadian ini tak hanya terjadi satu atau dua kali, tetapi setiap kali kami membandel. Agaknya sejauh apa pun jarak yang diinginkan si anak, seorang ibu akan selalu datang dan mendekat.

Ibu saya adalah ibu yang selalu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata ‘astaga’ setiap kali menemukan anak perempuannya disibukkan dengan sepak bola. Dari dulu, ibu tidak terlalu suka saya menonton atau ikut bermain sepak bola. 

Biasanya ia menggerutu kepada bapak. Dia pikir bapak itu biang kerok karena memang ia yang mengajak saya pertama kali menonton sepak bola. Sebagai seorang anak yang merasa tidak dekat dengan ibu, saya pikir ibu tidak paham nikmatnya sepak bola seperti apa.

Ternyata saya keliru. Setelah 9 tahun 6 bulan merantau dan tak pernah sekalipun pulang ke rumah, saya menemukan poster Paolo Maldini kesayangan saya masih menempel persis di tempat saya menempelnya pertama kali: Di sebelah kiri cermin kamar. 

Saya tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran ibu karena kami memang jarang bicara. Namun, selama saya merantau ibu juga menggunakan kamar itu sebagai kamarnya. 

Barangkali ia tahu walau tak sepenuhnya paham bahwa laki-laki yang ada di poster itu begitu digilai anak perempuannya. Kalaupun tidak bisa berdekatan dengan anaknya secara utuh, setidaknya ada sejumput bagian kecil yang tetap berdekatan dengannya.

Pukul 11.00, matahari semakin meninggi, lawan dari Bogor belum juga datang. Ibu-ibu di sebelah saya makin gusar, tetapi mereka tak mau beranjak juga dari lapangan. Mereka tak mau berjauh-jauhan dengan sepak bola anaknya. 

Saya teringat cerita ibu-ibu Argentina yang tak mau berjauh-jauhan dengan sepak bola seterik apa pun cuaca yang dihadapi, seganas apa pun ancaman yang membikin gusar. Ibu-ibu itu bukan pegiat sepak bola. Mereka hanya ibu-ibu biasa yang barangkali lebih paham kapan supermarket langganan memberikan potongan harga kebutuhan pokok atau jarum rajut nomor berapa yang harus digunakan untuk membuat baju hangat.

Ibu-ibu itu menentang junta militer Argentina yang sudah menghilangkan cucu, anak atau mungkin suami mereka. Mereka berunjuk rasa di Plaza de Mayo, lapangan luas di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada sejak 30 April 1977. 

Puncaknya terjadi pada 1 Juni 1978, tepat saat kick-off Piala Dunia. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di Plaza de Mayo karena menyadari bahwa Piala Dunia adalah ajang kelas dunia yang menarik perhatian besar pers dari belahan bumi mana saja. 

Kalaupun mereka tak bisa lagi bertemu dengan orang-orang kesayangannya, setidaknya dunia tahu bahwa sepak bola yang begitu digilai oleh orang-orang kesayangannya itu dimanfaatkan sebagai selubung yang menutupi darah yang ditumpahkan.

****

Hampir pukul 12.00, cuaca panasnya minta ampun. Sekilas saya melihat beberapa orang anak memasuki tempat latihan. Ibu-ibu itu kasak-kusuk berbisik “Dateng dateng.”  Mereka lalu berdiri, meregangkan pinggang, meng-keretek-an jari, dan berjalan pelan ke arah bench yang reot itu.Lagak ibu-ibu ini sudah seperti pemain sepak bola itu sendiri, yang menggelar pemanasan begitu melihat sang lawan datang mendekat.

Pelatih dan staf kemudian menyodorkan beberapa gelas air mineral kepada rombongan dari Bogor. Rombongan kecil lainnya yang tadinya tak tampak juga terlihat berjalan memasuki lokasi SSB. Agaknya mereka lawan yang ditunggu itu.

Ibu-ibu itu sudah siap di bench. Seorang dari mereka mengenakan topi golf dan kacamata hitam. Seorang lagi berteriak kepada anaknya yang sedang bersiap-siap; “Jadi bek wae, lebih alus!” 

Si pelatih menoleh sebentar, agaknya ia menimbang-nimbang tentang keabsahan perintah seorang ibu. Katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu. Kalau tak menurut urusannya bukan cuma panjang, tetapi juga menyangkut dunia akhirat. Benar-benar the law of the game!

Menjelang pukul 12.30, kedua kesebelasan sudah siap di lapangan. Pelatih dan staf baik kesebelasan tamu maupun tuan rumah, tak ada yang kebagian tempat di bench. Apa boleh buat.

“Priiiiitttt!” 

Walau suara peluitnya terdengar loyo, pertandingan tetap dimulai. Ibu-ibu ultras itu sudah heboh berteriak-teriak, memberi instruksi, mengomel, dan mengeluh, padahal pertandingan belum sampai 10 menit berlangsung.

Apa boleh bikin: Ibu-ibu inilah the law of the game yang sebenarnya.

Tulisan ini tayang di panditfootball.com: 18 Juni 2015

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai